Rabu, 10 November 2010

Kisah Camat Cangkringan Dikejar Awan Panas Merapi

Sleman - Pengalaman mendebarkan dikejar awan panas Merapi ternyata tidak dialami oleh warga Cangkringan, Sleman, DIU, saja. Camat Cangkringan Samsul Bakri juga merasakan pengalaman tersebut, bahkan sempat mengaku pasrah jika ajalnya sudah tiba.

Letusan Merapi pada Jumat (5/11/2010) silam menimbulkan kesan mendalam bagi banyak orang. Bagaimana tidak, letusan tersebut merupakan yang terbesar bahkan sejak beberapa generasi terakhir lantaran jangkauannya lebih dari 15 km.

Jumlah korban di letusan kedua ini bahkan lebih banyak dibanding letusan pertama pada 26 Oktober silam yang menewaskan sang kuncen Merapi Mbah Maridjan. Total jumlah korban untuk saat ini berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per Rabu (10/11/2010) sebanyak 185 orang.

Banyak kisah bermunculan terkait letusan dahsyat ini. Awan panas memang tak pandang dulu dalam memilih korbannya, baik tua atau muda, laki-laki atau perempuan bisa kena getahnya.

Selain sejumlah warga yang mengalami pengalaman yang membuat jantung berdebar-debar, Samsul yang merupakan orang nomor satu di Cangkringan juga memiliki kisahnya sendiri. Untuk diketahui Cangkringan merupakan salah satu kecamatan penyumbang korban tewas terbanyak.

Dikisahkan Samsul, pada Kamis (4/11/2010) malam dirinya tengah melakukan patroli pengawasan evakuasi penduduk Glagaharjo. Bersama Danramil Cangkringan Purwanto, keduanya menuju kawasan Glagaharjo menggunakan Kijang Innova AB 76 E.

Namun di tengah jalan, tepatnya ketika memasuki Dusun Gadingan, Argomulyo, kedua pejabat tingkat kecamatan tersebut dikejutkan dengan adanya gulungan awan berwarna hitam. Saat itu juga Samsul yang memegang kemudi lantas balik kanan dengan cepat untuk meluncur ke arah selatan.

"Untung saja pada saat itu saya bisa langsung sekali jadi pada saat atret (mundur-red) mobil. Kalau tidak, sudah ngga tahu itu gimana jadinya," kenang Samsul di Pengungsian Maguwoharjo, Rabu (11/10/2010) malam.

Namun bukan hanya keberhasilan dalam balik kanan itu saja yang disyukuri Samsul. Dia mengaku setelah bergerak turun ke arah selatan, dia merasa masih jauh dari kata aman.

"Yang perlu disyukuri lagi adalah pada malam itu. Entah mengapa saya reflek memilih jalur alternatif di jalan berbatu ketimbang jalur utama yang mulus namun dekat kali Gendol."

Dipaparkan Samsul, jika dirinya mengambil jalur utama maka dipastikan ia dan
Purwanto sudah mengisi daftar korban tewas di RS Sardjito. Sampul mengatakan pada saat itu banyak motor yang mengambil jalur utama, dan tidak dapat menghindari terjangan lahar panas yang meluap dari Kaligendol.

"Pada saat itu saya fokus nyopir. Sedangkan Pak Purwanto tak henti-hentinya membaca doa," tandasnya.

Ketika sudah memasuki jalan aspal lagi, Samsul sempat melihat dua orang berlari di pinggir jalan. Ia lantas memelankan laju mobil dan mempersilakan dua orang itu masuk.

"Bahkan mobil belum berhenti sepenuhnya ketika kami memasukkan dua orang di
tempat duduk belakang," ungkapnya.

Sesampainya di Jl Solo, Samsul dan Purwanto lantas melakukan koordinasi dan meminta masyarakat untuk mengungsi di Stadion Mauwoharjo. Inilah awal cerita
pengungsian warga Cangkringan di stadion terbesar di DIY tersebut yang entah sampai kapan akan berakhir.

"Esok harinya ketika keadaan sudah sedikit tenang. Saya berbicara dengan Pak
Purwanto. Kami ternyata pikirannya sama. Kami sudah siap untuk mati pada malam itu," tuntasnya.

sumber:http://www.detiknews.com/read/2010/11/11/090145/1491896/10/kisah-camat-cangkringan-dikejar-awan-panas-merapi?nd992203605

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger